Kebudayaan Arab Pra Islam
Wahyu yang diturunkan Allah Swt pada hakekatnya membawa tiga misi reformatif, yakni teologis, ritual dan sosial. Reformasi teologis ditujukan untuk menegaskan kembali ajaran iman yang benar menurut al-Qur’an, yaitu tauhid. Reformasi ritual ditujukan untuk mengajak manusia agar mewujudkan iman secara benar dalam penyembahan yang benar pula, karena orang bisa memiliki keyakinan yang benar, tetapi tidk tahu bagaimana mengekspresikan kebenaran itu. Reformasi sosial ditujukan untuk mengembalikan kehidupan manusia pada hakekat kemanusiaan. Pada bagian ini, digambarkan situasi masyarakat Arab menjelang lahirnya islam, dengan penekanan khusus pada aspek politik, ekonomi, sosial,agama dan sastra. Dengan mengkaji aspek-aspek itu maka akan jelas bahwa Islam lahir dalam suasana politik yang didominasi oleh dua kekuatan raksasa, Sasania (Persia) di Timur dan Bizantium (Romawi) di Barat.
-
Politik
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Arab pra-Islam didominasi oleh dua kerajaan besar, yaitu Bizantium dan Persia. Dua kerajaan tersebut selalu bertikai memperebutkan daerah kekuasaan. Dari sekian daerah kekuasaan yang ada, hanya Hijaz yang tidak dijajah oleh kedua kerajaan besar tersebut. Karena Hijaz merupakan daerah tandus yang terbentang seperti rintangan, bagian dari jazirah Arab, terletak diantara dataran tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah. Disini terdapat tiga kota utama, yaitu Taif, dan dua kota bersaudaraan Mekkah dan Madinah. Penduduknya terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arab hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara, serta para pemimpinnya (amir) yang menjalankan politik “non-blok”. Dengan sikap politiknya yang seperti ini, justru negara-negara asing menaruh hormat terhadap bangsa Arab saat itu. Hubungan seperti itu dicatat dalam sejarah, misalnya perjanjian perdagangan yang dibuat amir Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamin, Ghassaniah, Hirah, Syam (Suriah), dan Ethopia. Selain pusat pemerintahan di kota-kota, mereka juga tersebar dalam pemerintahan lokal di gurun-gurun pasir.
Isi perjanjian itu menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan di Mekkah harus mengindahkan ketertiban pelaksanaan ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni 4 bulan dari tanggal 10 Dzulhijjah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Perjanjian itu juga menyebabkan bahwa para amir Mekkah tidak boleh mencampuradukkan persoalan politik yang timbul akibat persaingan negara disekitar Arab. Disebutkan juga bahwa sebagai imbalan dari perhatian terhadap ketentuan itu, para pedagang Mekkah, diberikan kebebasan mengimpor komoditas dari Afrika, Yaman, India, dan China. Ketika itu keadaan masyarakat sangat rapuh. Antar suku saling berperang hanya karena persoalan kecil. Perang antara Bani Bakar dan Bani Taghlib, yang berlangsung selama 40 tahun, terjadi akibat persoalan sepele, yaitu saling mengejek dalam ajang pacuan kuda Dahis (jantan) dan kuda Ghabra(betina). Demikian pula perang Bu’ath yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Pertikaian itu terjadi dibawah pengaruh Romawi Timur Byzantium yang sangat membenci orang-orang Yahudi, karena mereka yakin bahwa kaum Yahudi lah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Setelah lelah berperang mereka mengundang Nabi Muhammad untuk datang ke Yathrib sebagai pendamai dintara mereka.
Dengan demikian, jelas bahwa Arab pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak kepada salah satu kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem perdagangan mereka lancar dan tidak mengalami kendala. Disamping itu, berkaitan dengan pemilihan pemimpin atau kepala suku, sebenarnya bangsa Arab sudah memiliki nilai-nilai demokratis yang ditandai dengan dipraktikannya Syura (musyawarah) dalam pemilihan pemimpin. Mereka memilih pemimpin yang adil, bijaksana, dan menekankan senioritas serta pengalaman berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Husaini paling tidak seorang pemimpin harus berumur minimal 40 tahun. Pada saat itu masyarakat Arab telah memiliki dua lembaga permusyawaratn yaitu, al-Mala’ (DPR) dan Nadi al-Qaum (MPR).
- Ekonomi
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini. Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga. Selain itu, Mekkah juga yang terletak di dalam lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit barisan yang hampir menutupinya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat agama (penyembahan berhala) Mekkah tempat letaknya Ka’bah Baitullah selalu didatangi oleh berbagai suku dari berbagai penjuru Jazirah Arab sekali dalam setahun pada bulan-bulan suci untuk haji. Kehadiran pengunjung ini mmberikan keuntungan ekonomi bagi penduduk yang mereka peroleh dari pengunjung tersebut. Mekkah sebagai pusat perdagangan menjadi kota transit perdagangan Timur-Barat. Jalan kelur masuk dari dan ke Mekkah melalui tiga jalur, yaitu sebelah selatan menuju Yaman, sebelah utara menuju Yastrib, Palestina dan Suria, dan sebelah barat menuju Laut Merah dan Jeddah.
200 tahun sebelum kenabian Muhammad (610 M), masyarakat Arab sudah mengenal peralatan pertanian semi-modern seperti alat bajak, cangkul, garu dan tongkat kayu untuk menanam. Penggunaan hewan ternak seperti unta, keledai, dan sapi jantan sebagai penarik bajak dan garu serta pembawa tempat air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu membuat bendungan raksasa yang dinamakan al-Ma’arib. Mereka juga telah mengenal teknik penyilangan pohon tertentu untuk mendapat bibit unggul. Ada tiga sistem yang dipakai pemilik ladang atau sawah untuk mengelola pertanian mereka. Pertama, sistem sewa menyewa dengan emas atau logam, gandum, dll sebagai alat pembayarannya. Kedua, sistem bagi hasil produk, misalnya separuh untuk pemilik dan separuh untuk penggarap, dengan bibit dan ongkos dari pemilik. Ketiga, sistem pandego, seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan, pemupukan dan perawatannya oleh penggarap.
Sumber: https://superforex.co.id/golden-axe-classic-apk/