Pembagian Jenis Najis
Adapun najis terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis yang paling ringan. Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan kecuali air susu ibunya. Cara membersihkannya cukup dengan cara diperciki air saja. Sebagaimana terdapat dalam hadis berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Ummi Qais binti Mihshon, bahwa dia mendatangi Rasulullah saw. bersama anak laki-lakinya yang belum apapun kecuali susu ibunya, kemudian Rasulullah memangkunya, lalu bayi tersebut mengencingi baju beliau. Lalu Rasulullah minta diambilkan air, dan kemudian dia memerciki pakaiannya dan tidak mencucinya.[11] (HR. Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim)
- Najis Mughaladlah
Najis mughaladah adalah najis berat yang cara membersihkannya adalah dengan cara diusap dengan tanah, kemudian dicuci dengan air sebanyak tujuh kali. Contoh yang diberikan Nabi adalah liur anjing sebagaimana hadis berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ ».
“Apabila anjing minum dalam bejana milik salah seorang diantara kamu, bersihkanlah dengan tanah, kemudian cucilah dengan air sebanyak tujuh kali.”[12]
3 Najis Mutawasithah
Najis mutawasithah adalah najis sedang yang cara membersihkannya cukup dicuci dengan air tiga kali atau lebih sampai hilang bau, warna, dan bentuk najisnya. Contoh benda-benda najis yang masuk kategori ini adalah:
Darah Haid dan Nifas
Mengenai kenajisan darah haid dijelaskan di dalam al-Qur’an berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى …
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. (Al-Baqarah/2: 222)
Dalam sebuah hadis juga dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ « تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ ».
Dari Asma’ berkata: datang seorang perempuan kepada Nabi saw., dan berkata: salah satu di antara kami pakaiannya terkena darah haid, bagaimana kami membersihkanya? Keriklah kemudian cuci dengan air, kemudian gunakan dan shalatlah dengannya.”[13]
Dari hadis di atas dijelaskan cara membersihkan darah haid adalah dengan cara mengeriknya kemudian dicuci dengan air. Namun apabila setelah dicuci masih meninggalkan bekas pakaian tersebut tetap dianggap suci sebagaimana hadis dari Abu Hurairah berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ، قَالَ: فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ، ثُمَّ صَلِّى فِيهِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ؟ قَالَ: يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ.
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’ Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.” Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tak bisa hilang?’ Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tak membahayakan (shalat)mu.